Hampir jam 12 tengah malam, aku dan Bang Jay pulang dari rumah Bang Hotman. Kami membawa kaset demo untuk diperlihatkan pada Bu Poppy besok pagi. Dalam perjalanan pulang, ketika melewati daerah Kemang, Bang Jay usul untuk mampir ke cafe. Aku sedang capek dan mau langsung pulang saja dan tidur. Nggak enak juga rasanya aku menolak ajakan Bang Jay. Tapi fisik dan otakku rasanya capek banget.
“Kalau abang mau, bawa mobil ini saja,” usulku padanya yang sedang nyetir, “Aku turun di sini, pulang naik taxi.”
Huh! Usul yang tidak kompak, mengabaikan kebersamaan. Batinku protes.
“Kasihan kamu pulang sendiri. Apalagi naik taxi. Jakarta rawan perampokan dan pemerkosaan. Harus hati-hati,” kata Bang Jay.”Apalagi tampang seperti kamu Yadi. Yang naksir banyak,” tambahnya. Dia melirik ke arahku dan sedikit tertawa.
Aku terdiam beberapa saat. Bang Jay juga memperhatikanku” Jalanan sekitar Blok M masih ramai, padahal sekarang sudah lewat tengah malam. Lampu hias yang berkelap-kelip membuat suasana sekitar menjadi semarak dan indah.
Aku alihkan pembicaraan mengenai diriku dengan menanyakan soal Bu Ayu. Bang Jay menjelaskan bahwa biro iklan kami telah lama jadi rekanan perusahaan tempat Bu Ayu bekerja. Dan tanpa kuminta, Bang Jay terus bercerita bahwa hal yang wajar bisnis dengan servis layanan seksual. Kalau bosnya laki dikirim cewek untuk melayaninya. Dan kalau perempuan biasanya Bang Jay yang mencarikan cowok gigolo.
Bang Jay cerita lagi, kalau aku langsung diterima bekerja karena penampilanku. Bukan karena nilai-nilaiku di ijazah atau lampiran prestasi lainnya. Bekerja di lingkungan bisnis di Jakarta memang harus punya tampang keren yang menjual disamping pintar dan trampil. Mestikah aku tersinggung setelah mengetahui ini” Karena itu aku dibiaran Bu Poppy bersama-sama dengan manajer pemasaran seperti Bu Ayu. Aku belum menyadari itu semua. Waktu dalam 2 bulan, belum mampu aku melihat gelagat bisnis seperti ini.
Dalam hati aku berkeyakinan untuk memperlihatkan prastasiku, bukan tampang yang bagus saja. Olah raga yang kulakukan untuk menjaga kebugaran tubuhku dan peralatan perawatan tubuhku bukanlah yang utama. Tampil keren tapi nggak bisa apa-apa, buat apa?
Sudah 2 minggu aku di aparteman ini. Kerja yang lumayan sibuk, tapi bagiku sangat menyenangkan. Bang Jay banyak membantuku. Dan satu hal lagi, aku tidak sampai terjerumus untuk ‘berhubungan lebih jauh’ dengan Bang Jay. Bang Jay dapat menjaga dirinya, walau kadang aku bisa tidak tahan untuk digoda Bang Jay. Bayangan akan indahnya tubuh Bang Jay ketika mandi yang pernah kulihat seringkali menggodaku untuk kembali mengulanginya. Terutama saat kudengar suara air ketika Bang Jay mandi. Keinginan untuk mendobrak masuk, sampai saat ini masih dapat kutahan.
Siang ini Bima akan datang. Akhirnya dia model yang dipakai untuk promosi produk. Tadi dia telpon dan mengatakan mau mampir. Bang Jay sedang ke Mas Narto mengantar sketsa disain untuk poster yang telah aku buat beberapa koreksinya. Tinggal aku sendiri sambil main internet. Memeriksa email gratisku yang nyaris penuh.
Lusa adalah jadwal kami shooting di studio sekitar Kebun Jeruk. Kami akan masuk siang setelah minta Rina untuk mengkonfirmasi jadwalnya. Semua telah sesuai rencana dan kami dapat jatah sehari penuh pemakain studio dan peralatannya. Settingnya pun mereka yang mempersiapkannya, sesuai dengan disain yang kami buat.
Bel pintu berbunyi. Segera aku log-out dari halaman emailku, kemudian buka pintu. Bima sedang berdiri sambil tersenyum.
“Aku tidak mengganggu, kan?” tanyanya.
“Ah, nggak. Silahkan, Bim. Sendirian saja?” aku balik bertanya.
Dia mengangguk sambil melangkah masuk. Dapat kucium aroma tubuhnya yang wangi. Ransel yang disandangnya ditaruh di lantai sambil buka sepatu. Dia kelihatan rapi dengan kemeja polos kuning dan celana jeans hitam ini. Segera aku tutup pintu. Aku persilahkan dia duduk di kursi tamu dan kuambilkan minum, dua botol aqua dari kulkas.
“Aku tidak sabar untuk pengambilan gambar besok Sabtu,” katanya.
Dia buka botol air yang kuserahkan padanya. Kulihat wajahnya sangat ganteng dengan bulu mata dan alis yang hitam. Jambangnya terbentuk rapi. Ada lesung pipitnya di pipi dan dagunya sedikit belah. Kumis dan jenggotnya tercukur rapi. Rambutnya tidak begitu panjang tersisir rapi. Sesekali dia menyisir rambutnya yang jatuh di kening dengan jarinya. Ada sedikit desir di hatiku. Ada apa ini, Yadi” Kau naksir anak laki ya” batinku berkecamuk.
“Sudah lihat storyboard-nya kan?” tanyaku.
“Sudah, cuma belum detil,” katanya.
Dia tahu aku sangat memperhatikannya. Dia juga rupanya memperhatikanku. Aku jadi ingat waktu aku bertemu dia saat audisi di sini, dia menyangka aku juga peserta. Seperti Bu Ayu juga begitu, ketika aku pertama kali bertemu di kantornya, aku disangka model untuk produknya. Aku menggelengkan kepala, membuyarkan lamunanku.
Aku ajak dia ke meja makan. Ada copy storyboard yang dapat dilihatnya di sana. Aku jelaskan padanya akting seperti apa yang diinginkan dan suasananya. Katanya dia juga sudah tandatangan kontrak sebagai model produk ini. Rupanya ini adalah kontrak pertamanya sejak dia memulai profesi ini. Biasanya hanya sebagai peragawan, penjaga stand atau pagar bagus resepsi pernikahan yang honornya tidak begitu banyak.
“Sepertinya tidak susah ya?” tanyanya.
“Semoga saja begitu,” kataku.
“Nanti telanjang atau pakai celana ya?” dia balik bertanya lagi.
Aku tertawa. “Kenapa? Malu ya?”
“Nggak sih. Cuma nanti hasilnya tidak vulgar banget kan?” katanya lagi.
Aku mengangguk. Rupanya dia kuatir juga dengan pengambilan gambar yang nyaris telanjang itu. Dia mengingatkan iklan rokok yang kena cekal, yang dulu pernah ditayangkan karena menampilkan cowok yang telanjang tertutup busa sabun. Kukatakan padanya kalau hasilnya tidak akan sevulgar itu. Kemudian aku jelaskan prosesnya nanti akan ditentukan saat editing di post-pro.
“Tubuhku lagi belang nih,” katanya kemudian. Aku tentu saja sedikit kaget.
“Tapi nggak tahu deh, bisa hilang kembali normal lagi nggak ya. Tinggal sehari dua hari lagi..”
“Belang gimana?” tanyaku.
“Kemarin aku berenang ke Carita dengan anak-anak gengku. Biasa, acara tanpa rencana. Aku pakai singlet ketika main di pantai, jadinya belang begini,” katanya sambil membuka kemejanya, dan menggantungkannya di sandaran kursi makan.
Huh! Tubuhnya dengan otot tidak begitu menonjol, tapi sangat proporsional membuat otakku memberikan sinyal rangsangan. Rasanya beda dibanding ketika melihat dia saat audisi, walau sama-sama telanjang dada. Mungkin karena tidak ada orang lain di ruang ini. Apa saja dapat terjadi.
Dia mengelus tubuhnya yang atletis itu. Dia sedang menggodaku? batinku. Ada garis tepi singlet di punggung dan sisi dadanya. Bahu dan lengannya yang kekar itu kelihatan berwarna lebih gelap dibanding dada dan perutnya yang lebih terang. Kulitnya warna gelap malah kelihatan lebih seksi dimataku.
“Tidak pakai krem ya?” tanyaku sambil melihat lebih dekat kulitnya.
Mengelusnya pada kulitnya yang belang itu. Ototnya keras ketika aku coba meremasnya.
“Nggak. Namanya tidak rencana,” katanya sambil membuka celananya, memperlihatkan pahanya yang belang. Paha yang kekar. Apaan lagi ini?
Aku menelan liurku. Jantungku mulai berdebar. Celana dalam mini warna biru muda itu memperihatkan tonjolan kontolnya ketika celana jeansnya merosot sampai ke bawah dengkulnya. Dia mengelus depan kontolnya yang menggembung. Benar-benar menggoda dia. Kemudian mengelus pahanya yang belang. Bokongnya yang lumayan indah itu tertutup hanya separuh. Otakku sudah mulai ingin berbuat lebih jauh. Tapi kutahan. Denyut darahku di kontol kurasakan memompa yang membuat kontolku menegang.
Aku sampaikan bahwa belang pada tubuhnya itu akan mudah untuk di hilangkan pada saat proses di komputer. Memang jadi memakan waktu dan biaya lagi. Kusampaikan padanya untuk tenang saja dan cukup istirahat untuk persiapan shooting dan pemotretan besok Sabtu.
Setelah itu, dia memakai kembali celananya dan kemejanya. Kami ngobrol sambil main internet. Usia kami yang tidak begitu jauh, dia lebih muda 2 tahun dariku membuat obrolan jadi asyik. Kukatakan padanya alasan dia terpilih karena tampang bersihnya, tanpa anting dan tato di tubuhnya.
Kemudian dia juga cerita soal teman-temannya yang lebih senang hura-hura. Dia berpikiran untuk punya prestasi selagi sempat. Selagi ada waktu. Prestasi apa saja, tidak mesti yang menghasilkan duit. Aku setuju sekali dengan pendapatnya itu. Kukatakan padanya, aku dapat langsung bekerja dengan lancar mengurus semua hal, karena pengalaman berorganisasi dan magang kerja ketika masa kuliah.
“Tidak sempat pacaran dong, Yadi,” katanya mengomentari cerita kesibukanku itu.
Aku tertawa. Apa aku harus cerita petualanganku dengan Siska, yang bekerja sebagai SPG di Mall sambil kuliah? Atau dengan Mas Hardi, sang komandan Resimen Mahasiswa di kampusku yang gay? Ah, aku jadi ingat Mas Hardi. Dimana dia sekarang ya?
Kukatakan padanya, kebetulan aku berteman akrab dengan orang yang dapat memberi aku pengalaman hidup, yang membuat aku punya kemampuan diri yang lebih baik. Pacar atau teman dekat itu pilih yang memberi nilai positip pada diri kita, usulku padanya. Untuk curhat atau diskusi hal apa saja, terasa enak dan bermanfaat.
Kami ngorol seperti dua sahabat yang sudah kenal lama. Sampai nggak terasa, sudah sore. Bima pamit pulang. Malamnya aku ke studio shooting untuk mengecek setting kamar mandi yang katanya sudah selesai. Rina, Sisy sudah disana lebih dulu. Mereka meminta aku dan Bang Jay untuk datang melihat.
Akhirnya waktu yang kutunggu tiba juga. Siang ini kami sudah berada di studio shooting. Bang Jay sedang di ruang operator, mengecek pencahayaan di layar yang katanya agak gelap. Aku minta korten ruang shower diganti, warna cerah. Untung stok ada, kami pilih warna oranye, warna yang sama dengan kemasan produk.
Bima telpon bahwa dia dalam perjalanan. Memang dia kuminta datang agak sore agar dia punya waktu banyak untuk istirahat. Dan lagi persiapan di studio tak perlu melibatkan dia langsung.
Kami sedang makan siang ketika Bu Ayu datang. Sikapnya biasa saja terhadapku. Skandal yang kami lakukan setelah makan siang beberapa hari lalu tidak membuat sikapnya berubah. Hebat dia! pikirku. Menjaga jarak dan sikap di depan orang banyak terhadapku terlihat wajar di mataku. Aku juga tertolong untuk juga bersikap wajar dan tidak pernah terjadi ‘apa-apa’ diantara kami. Aku melaporkan kesiapan shotting yang sampai saat sekarang tidak ada masalah. Dia senang.
“Pengambilan gambarnya dimulai kapan?” tanyanya. Dia hanya makan rujak yang dibawa Sisy. Tak mau makan nasi bungkus seperti kami.
“Nanti sekitar jam lima,” jawabku.
Dia melirik jam tangannya. Masih ada waktu sekitar 4 jam lagi. Setelah melihat sekeliling studio yang telah disetting kamar mandi, Bu Ayu pamit pulang dulu. Nanti sore katanya akan balik lagi.